Studi kasus pemasaran Google Plus atau Google+ memang sangat menarik dan berliku. Banyak cara untuk menceritakannya. Jadi mohon maaf apabila posting kali ini agak lebih panjang dari biasanya. Baiklah, kita coba mulai penelusuran jalan berliku ini pada bulan Mei 2010. Saat itu Google mengakui salah satu kegagalannya. Hal yang jarang kita temui dalam komunikasi perusahaan yang lain. Bagaimana dengan perusahaan atau organisasi Anda? Secara spesifik, saat itu Google mengakui kekurangannya dalam pengembangan social networking atau jejaring sosial. Pengakuan ini terungkap dalam surat rekrutasi untuk posisi “Head of Social”. Cuplikan dari sebagian kalimat dalam surat tersebut yang dirilis computerworld.com adalah “…as Google knows it is late on this front and is appropriately humble about it. In Google’s view, conceptually, there are two ways to tackle social…”.
Orkut, jejaring sosial yang dirilis tahun 2004 belum memenuhi ambisi Google. Orkut hanya cukup populer di Brazil dan India, tetapi justru kurang berhasil di negara asalnya, Amerika Serikat. Salah satu sebab yang diungkapkan Marissa Mayer (Vice President of Location and Local Services Google) di techcrunch.com adalah keterlambatan mereka mengantisipasi lonjakan jumlah pengguna pada awal peluncurannya. Orkut sempat mencapai beberapa juta pengguna dalam beberapa hari, tetapi kemudian terhambat karena koneksi ke situs Orkut menjadi terganggu.
Bulan Mei 2009, proyek Google Wave meluncur, sebuah media kolaborasi online. Media ini menjanjikan cara baru dalam berkomunikasi secara online. Para penggunanya dapat berkomunikasi dan berkolaborasi dalam suatu percakapan atau dengan dokumen dengan berbagai macam format, termasuk teks, foto, video, peta, dan sebagainya. Tetapi layanan ini akhirnya diputuskan untuk dihentikan pada tanggal 4 Agustus 2010. Mengapa Google Wave juga gagal? Simak ulasannya di “Belajar dari Wafatnya Google Wave”.
Kegagalan Google dalam jejaring sosial sempat memicu spekulasi adanya rencana akuisisi terhadap Twitter pada tahun 2009. Apakah mereka jera mengembangkan sendiri jejaring sosialnya? Ternyata tidak! Mereka mencoba bangkit melalui Google Buzz pada tahun 2010. Layanan yang terintegrasi dengan gmail ini menyediakan media bagi penggunanya untuk berbagi posting berupa antara lain: status updates, link, foto, video dan komentar. Layanan ini sebenarnya memiliki salah satu karakteristik dasar yang mirip dengan Google+. Penggunanya dapat memilih bagaimana mereka akan berbagi post, baik secara publik maupun dalam beberapa grup tertentu. Tetapi Google Buzz belum berhasil menunjukkan diferensiasinya kepada para pengguna jejaring sosial. Apalagi layanan ini terintegrasi dengan Twitter. Sehingga sebagian besar isinya sama dengan timeline Twitter dari penggunanya. Kondisi ini justru mengurangi orisinalitas isinya. Sehingga tidak cukup alasan yang tepat bagi pengguna Facebook atau Twitter untuk beralih atau menambahkan Google Buzz dalam aktivitas social medianya. Belum lagi adanya masalah kekhawatiran adanya aplikasi di dalamnya yang berpotensi menganggu privasi para penggunanya.
Tetapi Google belum menyerah. Mereka harus berbuat sesuatu dan berhasil dalam jejaring sosial ini. Pengaruh jejaring sosial sudah semakin menekan Google yang terlebih dahulu dikenal dengan mesin pencarinya. Menurut analis trafik Hitwise, pada Desember 2010, trafik ke jejaring sosial telah melampaui trafik ke mesin pencari. Pencarian melalui jejaring sosial juga makin populer.
Akhirnya pada penghujung bulan Juni 2011, proyek Google+ (http://plus.google.com) diperkenalkan melalui sebuah field trial untuk pengguna terbatas. Kemudian mulai terbuka untuk umum pada 7 Juli 2011. Bulan Juli 2011 diberitakan Google+ berhasil mencapai 20 juta pengguna dan 25 juta pengunjung situsnya. Menurut mashable.com, angka ini menjunjukkan pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan Facebook, Twitter atau Myspace pada periode awal peluncurannya.
Belajar dari kegagalan sebelumnya, kali ini jejaring sosial ini menunjukkan diferensiasinya. Google juga tampak mulai menangkap keinginan pengguna jejaring sosial dan kekurangan dari jejaring sosial yang ada, terutama Facebook dan Twitter. Akhir-akhir ini pengguna Facebook mulai merasa kesulitan dalam menemukan pertemanan yang otentik. Euforia menambah jumlah teman pada awal bergabung dengan Facebook menyebabkan jumlah teman yang sangat banyak. Tetapi berlakulah paradoks, pada suatu kondisi yang berlebih, mulai muncul kelangkaan. Pertemanan yang otentik mulai langka saat jumlah teman di jejaring sosial mulai berlebih. Pada kondisi inilah “Circles” dalam Google+ menjadi solusi. “Circles” memberi fasilitas bagi pengguna mengatur kontak menjadi kelompok tertentu untuk berbagi. Uniknya orang yang dikelompokkan dalam “Circles” tersebut tidak bisa melihat nama yang digunakan oleh pembuat atau pemilik “Circles”. Jejaring sosial ini juga tidak memerlukan persetujuan apabila pengguna ingin menambahkan teman, kenalan atau orang lain dalam “Circles”. Nilai lebih dibandingkan Facebook yang fokus pada proses persetujuan, dan Twitter yang fokus pada konsep following.
Pengguna Facebook juga mulai terganggu dengan berbagai macam iklan. Baik iklan resmi yang biasanya tampil di sisi kanan, maupun melalui teman-temannya yang di-tag dalam posting iklan di “Wall” dari para pengiklan. Akhir-akhir ini juga mulai marak pembajakan akun pengguna yang digunakan untuk mengiklankan berbagai macam produk. Dan Google+ pun tampil bersih dari segala jenis iklan.
Kemudahan melakukan video chat melalui difasilitasi dengan “Hangouts”. Pertumbuhan pengguna ponsel pintar ditangkap melalui kemudahan instant messaging melalui aplikasi di ponsel dengan fasilitas “Huddle”. Fasilitas “Sparks” membantu pengguna dalam melakukan pencarian terintegrasi terhadap topik yang akan dibagi melalui media ini. Berbagi foto dan video pun didukung oleh fasilitas “Instant Uploads”. Tetapi walaupun fasilitas yang disediakan cukup lengkap, tetapi kemudahan penggunaannya tetap dijaga dengan baik. Mereka tidak mengulangi kesalahan yang terjadi pada kompleksitas penggunaan Google Wave.
Indikasi keberhasilan layanan ini mulai terbayang. Persistensi Google dalam mengembangkan jejaring sosial melalui jalan yang berliku didukung oleh kemampuan organisasi ini untuk terus belajar. Kemampuannya menghargai kegagalan menjadi salah satu penopang kebangkitannya setelah gagal dengan Orkut, Google Wave dan Google Buzz. Valuing Failure memang menjadi salah satu faktor penting dalam budaya organisasi dalam membentuk manajemen inovasi yang andal, seperti hasil riset yang saya lakukan pada tahun 2008-2009. Sebuah teladan yang juga ditunjukkan oleh Thomas Edison dalam “Keistimewaan Kucing dalam Bisnis: A Tribute to Thomas Edison”.
Bagaimana menurut Anda, apakah keunggulan lain dari Google+ atau apa faktor lain yang menjadi kunci keberhasilan sistem inovasi di Google? Benarkah Google+ akan berhasil? Please share with us@ http://kopicoklat.com dan bersama belajar marketing melalui studi kasus pemasaran Indonesia dan internasional.