Peran diferensiasi sangat besar dalam menentukan keberhasilan pemasaran. Sehingga diferensiasi menjadi pokok bahasan yang menarik bagi kita untuk belajar marketing dan sharing marketing ideas. Dari sembilan elemen dalam konsep pemasaran yang diusung Hermawan Kartajaya, strategi kuncinya dirumuskan lebih sederhana dalam segitiga PDB (Positioning, Differentiation, Branding) di mana tampak bahwa Diferensiasi menjadi salah satu elemen dalam core strategy. Dalam konsep New Wave Marketing, sembilan elemen pemasaran tersebut bertransformasi menjadi 12C. Diferensiasi bertransformasi menjadi Coding atau lebih lengkapnya “Coding Your DNA”. Diferensiasi atau Coding memegang peranan penting dalam membentuk pembeda yang otentik dari suatu produk, layanan atau perusahaan yang membedakannya dari produk, layanan atau perusahaan lain sehingga akan mampu menarik bagi target market tertentu. Pada akhirnya, diferensiasi akan berkontribusi dalam sustainability dari perusahaan tersebut karena merupakan sumber dari keunggulan kompetitif dari perusahaan.
Di dalam era hyper-competition seperti sekarang, diferensiasi sangat membutuhkan kreativitas. Bagaimana dengan industri film Indonesia sekarang ini? Beberapa pakar dan media akhir-akhir ini memandang industri film Indonesia mulai bangkit, setelah terpuruk sejak krisis ekonomi di akhir dekade 90-an. Pendapat ini dikuatkan dengan mulai meningkatnya komposisi film Indonesia di berbagai bioskop di tanah air. Tetapi data dari Lembaga Sensor Film Indonesia pada awal bulan Agustus 2009 menunjukkan bahwa pada tahun ini lebih dari separuh film Indonesia bertema horor. Dan dari separuh sisanya, didominasi dari kloning film-film India, Hongkong, China, Thailand, Korea atau Amerika. Dari data tersebut, belum nampak kreativitas dan diferensiasi kuat dari film Indonesia. Sehingga sustainabilitas dari “kebangkitan” industri film Indonesia masih diragukan. Salah satu sutradara film Indonesia, Jose Poernomo juga berpendapat dalam pernyataannya di showbiz.liputan6.com bahwa saat ini industri film Indonesia belum bisa dikatakan bangkit, karena kreativitas belum berkembang. Kurangnya kreativitas tersebut merupakan masalah sistemik yang kompleks, karena dengan sistem yang ada sekarang, aliran dana pembuatan film akan terfokus pada genre atau jenis film tertentu yang sempit, misalnya film horor. Sehingga perkembangan kreativitas akan terhambat.
Oleh karena itu apresiasi bagi Infinite Works (IFW) yang memproduksi film “Meraih Mimpi”, bekerja sama dengan The Media Development Authority of Singapore (MDA) dan MediaCorp Raintree Pictures. Film ini merupakan film animasi 3D pertama yang diproduksi Indonesia. Versi pertama dari film ini diluncurkan di Singapura, dan diproduksi bersama beberapa artis Singapura untuk pengisi suara, dengan judul “Sing to the Dawn”. Menurut IFW, hal ini dilakukan karena mereka mentargetkan pengakuan internasional terlebih dahulu, baru kemudian masuk ke pasar domestik.
Uniknya, dalam sebuah liputan media Singapura, MDA, sebuah institusi di bawah koordinasi Kementrian Infokom Singapura, mengatakan bahwa film ini merupakan inisiatifnya yang didukung dengan alokasi dana sebesar 40% dari total biaya produksi. Sumber ceritanya sendiri memang dari novel karya penulis Singapura, Minfong Ho, dengan judul “Sing to the Dawn” yang dirilis tahun 1975. Novel ini merupakan buku wajib bagi beberapa sekolah dasar di Singapura. Tetapi faktanya, 80% produksinya dikerjakan oleh Indonesia dan dilakukan di studio animasi di Batam. Sekitar 150 orang dari Jogja, Bandung, Solo direkrut di Batam sebagai animator, dibantu lima orang asing. Versi Indonesianya dengan judul “Meraih Mimpi” disutradari oleh Nia Dinata dan direncanakan akan premier pada tanggal 8 September 2009. Erwin Gutawa berperan untuk melakukan komposisi ulang musiknya. Pengisi suara diperkuat oleh Gita Gutawa, Cut Mini, dan Shanty.
Apresiasi bagi IFW, karena dari berbagai aspek, film ini seperti oasis dalam industri film Indonesia. Sumbangan kreativitas dari film ini diharapkan menjadi salah satu alternatif dalam pembentukan diferensiasi dan kekuatan dari film Indonesia. Juga sumbangan bagi kita untuk belajar marketing dan sharing marketing ideas. Walaupun dari beberapa komentar penonton film versi bahasa Inggrisnya, “Sing to the Dawn”, film ini belum bisa dibandingkan dengan film animasi 3D produksi Pixar atau DreamWorks, tetapi kreativitas tema dan penggarapannya kita harapkan akan mampu menjadi salah satu pemicu kreativitas lain dalam industri film nasional. Menurut Nia Dinata, film ini mengandung unsur pendidikan, komedi dan kesadaran akan lingkungan hidup dalam kemasan cerita tentang kakak beradik yang berusaha melindungi tempat tinggal dan lingkungan mereka dari kontraktor penipu. Bagi yang penasaran dengan film-nya bisa cek movie trailernya di youtube http://www.youtube.com/watch?v=0XsgYZRyWIM
Ruang bagi kreativitas industri film nasional sebenarnya terbuka lebar. Apalagi dari menurut laporan JPNN, dalam dua tahun belakangan ini, pasar film nasional lebih diramaikan dengan tambahan penonton dari segmen ibu-ibu rumah tangga, serta komunitas yang sebelumnya tidak masuk dalam segmen pasar perfilman nasional.
Bagaimanakah menurut Anda? Apakah kira-kira potensi diferensiasi bagi film Indonesia? Perlukan peran pemerintah dalam mengembangkan kreativitas di industri film nasional dengan fakta bahwa film “Meraih Mimpi” justru merupakan inisiatif dan sebagian dananya berasal dari pemerintah Singapura padahal 80% produksinya oleh dan di Indonesia? Please share your comments dan marketing ideas @ marketing blog http://kopicoklat.com dan belajar marketing bersama di blog ini.
IMHO, peluangnya sangat terbuka luas tp bukan dari teknis seperti peralatan atau teknologi suara karena sampai sekarang ini investasi di bidang itu untuk film masih mahal. Jd peluang terbesarnya tidak lain dan tidak bukan terletak di Indonesia-nya sendiri. Terdiri dari 13 rb pulau (kurang 2 ding, galang dan sipadan 😉 ) untaian katulistiwa ini menyimpan potensi yang tidak dimiliki negara manapun, even Malaysia. Lihat saja bebatuan granit di pantai Tanjong Tinggi, lautan pasir Bromo, hutan Kalimantan dan Papua yang gelap dan basah, pesona senja di Kaimana, mistisnya dataran dieng , nuansa purbakala hidup di pulau komodo, bahkan nama besar mudflow di porong sidoarjo db segala macam dinamika sosial dibaliknya. saya pikir film-film yang mengexpose hal-hal tersebut akan lebih mudah mempunyai differensiasi karena lokasinya yang eksotis. Pasir berbisik, Laskar Pelangi, dan sebentar lagi Sang Pemimpi termasuk deretan film berdiferensiasi kuat.
Impressive! Kalau saja itu yang menjadi karakter film Indonesia akan sangat menarik, dibandingkan film horor, nanti lama-lama turis jadi takut ke Indonesia karena kesannya Indonesia jadi syereeeemmm. Btw 2 pulau yang dimaksud, sipadan & ligitan ya….. P. Galang kan tetangganya Batam yang pernah jadi kamp pengungsi Vietnam 1979 – 1995 dan kita masih 100% berdaulat di sana 🙂
selamat dan sukse selalu…
tulisan yang menarik, kritis dan membangun……….. trim’s
Thank’s ya, semoga tulisan ini dapat bermanfaat.
hehe iya bukan P galang. Tq koreksinya.