“Merah Putih”, sebuah film yang merupakan awal dari Trilogi Merdeka akan segera dirilis pertengahan bulan Agustus 2009 dalam rangka menyambut Hari Kemerdekaan RI ke-64. Film ini disutradari oleh Yadi Sugandhi dengan produser Jeremy Steward. Trilogi Merdeka merupakan hasil kerjasama Margate House dan PT Media Desa. Di belakang PT Media Desa adalah pengusaha yang tercatat dalam daftar orang terkaya di Indonesia versi majalah Globe Asia, Hasyim Djojohadikusumo. Hasyim adalah saudara dari Prabowo Subianto, calon wakil presiden dari partai Gerindra yang berpasangan dengan calon presiden Megawati Soekarnoputri dalam Pemilihan Presiden tahun 2009 yang baru lalu.
Biaya yang dikeluarkan untuk trilogi tersebut cukup fantastis untuk ukuran film Indonesia: 60 milyar rupiah. Jumlah dana tersebut memang sebanding dengan ambisinya untuk mampu menghadirkan film yang tidak kalah kualitasnya dengan film produksi Hollywood. Special effect diserahkan kepada Adam Howard, yang pernah menangani film “Saving Private Ryan”, “Harry Potter: Secret of the Sorcerer’s Stone” dan “Black Hawk Down”. “Saving Private Ryan” dan “Black Hawk Down” adalah film produksi Hollywood yang bergenre sama dengan film “Merah Putih”, yaitu berlatar belakang masa perang. Skenario ditulis oleh Rob Allyin, seorang jurnalis New York Times. Yadi Sugandhi sebelumnya adalah penata gambar untuk salah satu film terpopuler di Indonesia saat ini: “Laskar Pelangi”. Para aktor yang membintangi film ini juga cukup dikenal dalam industri film Indonesia: Lukman Sardi, Doni Alamsyah, Darius Sinathrya, Zumi Zola, T Rifnu Wikana, dan didukung aktris pendatang baru Rahayu Saraswati dan Astri Nurdin.
Bagi yang ingin cari informasi lebih jauh mengenai film tersebut, jangan ragu-ragu, klik saja gambar poster film di tulisan ini. Bagi yang sudah nonton, boleh juga share komentar di blog belajar marketing dan sharing marketing ideas ini.
Ambisi dari pembuatan film ini tidak berhenti di situ, promosi dari film ini direncanakan tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di kawasan Asia, Australia, Perancis, Inggris, Belanda dan Amerika. Penayangan perdana film tersebut akan digelar secara serentak di seluruh jaringan bioskop 21 dan Blitzmegaplex pada 13 Agustus 2009.
Terlepas dari rencana promosi film tersebut ke sejumlah kawasan, bagaimanakah muatan nasionalisme dalam film ini mampu memberi pengaruh dalam pemasarannya di dalam negeri? Terus terang saya agak kesulitan mencari kajian atau hasil penelitian untuk belajar marketing khususnya mengenai pengaruh muatan nasionalisme dalam pemasaran suatu produk. Padahal sejauh yang saya ketahui, cara ini sudah banyak digunakan oleh para pemasar. Beberapa contoh yang masih segar dalam ingatan kita antara lain pemasaran Maspion dan Pertamina,.
Dalam sebuah penelitian pengaruh nasionalisme dalam pemasaran brand China di pasar dalam negerinya, nasionalisme merupakan positive force. Tetapi pengaruhnya dalam brand biasanya adalah dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang, pengaruhnya tetap akan ditentukan oleh customer experience dalam interaksi dengan produk atau brand tersebut. Penelitian tersebut dilakukan oleh Ogilvy & Mather, sebuah perusahaan internasional yang bergerak di di bidang advertising, marketing dan public relation, yang bermarkas besar di New York, Amerika Serikat.
Untuk marketing ideas dalam film “Merah Putih”, nasionalisme bisa juga menjadi positive force dalam pemasarannya di dalam negeri. Momen yang dipilih pun sangat relevan, yaitu dalam rangka peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-64. Saat ini masyarakat Indonesia juga sedang diusik rasa nasionalismenya dengan beberapa kejadian, antara lain insiden bom bunuh diri di hotel Ritz-Carlton dan JW Marriott, Mega Kuningan, 17 Juli 2009, insiden masuknya kapal-kapal Malaysia ke blok Ambalat, dan pengakuan sepihak dari Malaysia terhadap beberapa seni budaya tradisi rakyat Indonesia (Batik, Reog Ponorogo, lagu Rasa Sayange, dan lain-lain). Saat ini gerakan Indonesia Unite! juga sedang mendapat perhatian masyarakat.
Bagaimana customer experience yang akan mendukung pemasarannya dalam jangka panjang, mengingat film ini adalah bagian dari sebuah trilogi? Sepintas apresiasi penonton film di Indonesia terhadap produksi film dalam negeri tampak meningkat. Proporsi film Indonesia dalam beberapa jaringan bioskop tampak terus meningkat. Apalagi penggarapan film ini yang didukung beberapa ahli yang terlibat dalam beberapa film box office produksi Hollywood diharapkan akan meningkatkan kualitas dari customer experience.
Indonesia memang mempunyai catatan sejarah yang panjang dalam heroisme para pahlawan pejuang kemerdekaan. Makanya saya sedikit heran mengapa film Indonesia masih sedikit yang terinspirasi karya-karya pahlawan tersebut. Saya membayangkan film epik kolosal berjudul “Diponegoro”, “Sudirman”, “Gadjah Mada”, “Puputan Margarana”, “Hasanudin” dan sebagainya yang tidak kalah dengan film epik kolosal lain seperti “Patriot”, “The Alamo”, “Saving Private Ryan” atau “The Last Samurai”. Saya juga bermimpi bagaimana tema ini menjadi salah satu ciri khas film Indonesia, dan kemudian menjadi pesaing film India dengan ciri khas goyangan tari India-nya. Hingga suatu saat salah satu film epik kolosal Indonesia tersebut mengikuti “Slumdog Millionaire” meraih Oscar atau memenangi Festival Film Cannes. Who knows….
What do you think? Bagaimanakah sebetulnya pengaruh nasionalisme dalam pemasaran? Please share your marketing ideas with us @ http://kopicoklat.com dan belajar marketing bersama di blog ini.
Biasanya nasionalisme akan menjadi lebih bangkit jika ada ‘pemicu’nya Seperti saat terusiknya kita dengan bom, saat belanda bersenang-senang di nusantara dulu, saat PSSI all star vs Alien all star dll. Jadi menurut saya sangat memungkinkan untuk memanfaatkan momen-momen tersebut untuk memasarkan sesuatu asal tidak melewati batas-batas etika yang berlaku. Misalnya saja memanfaatkan lokasi musibah untuk membuat iklan penjualan yang tidak relevan. Just IMHO.