Mbah Surip adalah sosok yang mampu memberi inspirasi, termasuk memberi inspirasi kita untuk belajar marketing dan sharing marketing ideas mengenai industri musik Indonesia. Bagaimanakah kita bisa menggambarkan industri musik Indonesia saat ini? Beberapa kondisi yang bisa mewakili antara lain: industri musik Indonesia saat ini didominasi oleh group band muda, artis atau presenter tenar yang kemudian terjun ke dunia nyanyi dan pada umumnya mengusung aliran musik pop dengan beberapa variasi. Group band atau penyanyi akan mencapai puncak popularitas saat usia muda dan mulai menurun saat usia beranjak senja, tidak terkecuali misalnya salah satu diva musik pop Indonesia: Kris Dayanti atau KD. Lagu, baik single maupun dalam album akan tenar saat awal perilisannya yang dibarengi dengan promosi yang gencar. Tarif lagu maupun artis musisi akan berbanding lurus dengan tingkat popularitasnya.
Tetapi mbah Surip yang bernama lengkap Urip Ariyanto dan lahir pada tanggal 5 Mei 1949, merupakan pengecualian dari semua kondisi di atas. Beliau bagaikan “pencilan” dalam statistik di industri musik Indonesia. Beliau mencapai puncak popularitas justru di saat usianya senja, 60 tahun. Lagu-lagunya baru saja populer pada tahun ini, 2009, padahal sudah dirilis sejak beberapa tahun silam. Sebagai contoh lagu “Tak Gendong” sudah dirilis tahun 2003 dalam album dengan judul yang sama. Di dalam album tersebut juga terdapat lagu “Bangun Tidur” yang juga tidak kalah populer baru-baru ini. Menurut salah satu versi media, RBT lagu “Tak Gendong” dipakai oleh jutaan pelanggan layanan komunikasi seluler yang bernilai ratusan juta rupiah lebih bagi penyanyinya. Nilai RBT lagu tersebut akan jauh lebih besar bagi operator, karena operator seluler memperoleh 63% lebih dari nilai penjualan RBT, sedangkan artis / penyanyi hanya memperoleh 4,5%. Di saat popularitasnya mencapai puncak, harga CD album mbah Surip tetap dijual dengan harga Rp 20.000,- Harga ini jauh lebih murah dari harga CD album penyanyi lainnya yang biasanya dijual pada kisaran Rp 40.000,- atau lebih. Harga CD album mbah Surip yang jauh lebih murah tersebut tidak lepas dari komitmen beliau yang tidak ingin meraup untung terlalu besar dari penjualan albumnya.
Kemudian bagaimana kita bisa menjelaskan fenomena mbah Surip tersebut di tengah industri musik Indonesia? Karena fenomena ini sangat menarik bagi kita untuk belajar marketing, apalagi untuk sharing marketing ideas. Dalam salah satu wawancara di stasiun televisi swasta kemarin, Minggu, 9 Agustus 2009, seorang sahabatnya menyampaikan pada awalnya banyak yang pesimis akan nilai komersial dari lagu-lagu mbah Surip, bahkan dikatakan produsernya pun tidak yakin. Hal ini menunjukkan fenomena mbah Surip pada awalnya susah untuk diprediksi akan bisa terjadi dengan lonjakan popularitas seperti sekarang ini. Beberapa pakar di industri musik Indonesia kemudian mencoa menjelaskan fenomena tersebut. Bisnis RBT menyebabkan beberapa pergeseran, antara lain lagu yang sederhana dan kuat pada bagian refrain-nya akan lebih menjual, sehingga lagu-lagu mbah Surip yang berkesan sederhana sesuai dengan selera pasar. Tetapi penjelasan ini masih parsial, belum bisa menjelaskan bagaimana popularitasnya melambung sebagai pribadi. Topik mengenai wafatnya beliau sempat menjadi “Trending Topics” di twitter mengalahkan topik mengenai Michael Jackson. Masyarakat Mojokerto berencana membangun monumen mbah Surip. Sebuah jalan di Belitung (cmiiw) yang penuh dengan penjual minuman kopi, yang menjadi inspirasi istilah “I Love You Full”, akan dinamakan Jalan Mbah Surip. Sebuah liputan di salah satu stasiun TV swasta kemarin membahas kepergian dua seniman: WS Rendra dan Mbah Surip. Hal ini secara implisit membuktikan pengakuan kontribusinya terhadap dunia seni di Indonesia, hampir sejajar dengan nama besar WS Rendra.
Beberapa penjelasan lain akan fenomena tersebut terus digali. Tetapi menurut saya, Mbah Surip tetaplah “pencilan”. Beliau tetaplah “Black Swan” atau Angsa Hitam dalam industri musik Indonesia. Istilah “Black Swan” dipopulerkan oleh Nassim Nicholas Taleb dalam bukunya “The Black Swan: The Impact of the Highly Improbable”. Dalam bukunya tersebut, Taleb menyatakan sejarah tidak merangkak tetapi melompat, sehingga sebetulnya banyak hal yang tidak bisa kita prediksi dan tidak bisa kita jelaskan dengan baik. Penjelasan lebih banyak digali setelah esuatu terjadi, seakan-akan kita bisa memahaminya secara komprehensif dan seakan-akan kita bisa memprediksinya. Taleb menyebutnya dengan Triplet of Opacity, yaitu pertama adalah ilusi dari pemahaman manusia, atau bagaimana manusia berpikir mereka memahami betul apa yang terjadi yang sebetulnya jauh lebih kompleks dari yang disadarinya. Kedua, retrospective distortion (maaf saya belum bisa memperoleh terjemahan yang pas), yaitu kecenderungan di mana manusia lebih bisa menjelaskan suatu kejadian setelah semuanya terjadi. Ketiga, kecenderungan overvaluasi dari informasi faktual.
Fenomena Mbah Surip saya kira dekat dengan gambaran tersebut, karena seakan-akan kita memahaminya setelah popularitasnya mencapai puncaknya. Seakan-akan penjelasan-penjelasan tersebut bisa dengan tepat memprediksi bila terdapat seniman lain yang sesuai dengan kriteria tersebut akan juga mampu mencapai puncak popularitas di industri musik Indonesia. Fenomena mbah Surip lebih mirip dengan fenomena Black Swan yang sebetulnya tidak bisa kita pahami secara menyeluruh dengan tepat.
Tetapi bagaimanakah pendapat Anda? Apakah fenomena ini termasuk Black Swan atau sebetulnya fenomena ini sederhana saja, dan bisa dijelaskan dengan tepat dan mudah? Sehingga fenomena Black Swan adalah sekedar ilusi? Ataukah pemahaman kita akan fenomena inilah yang merupakan ilusi? Please share your marketing ideas with us @ http://kopicoklat.com dan belajar marketing bersama di blog ini.