Studi kasus pemasaran kali ini masih seputar penyelenggaraan salah satu trade show di bidang elektronik konsumer terbesar, yaitu Consumer Electronics Show (CES) 2012 di Las Vegas, Nevada, Amerika Serikat. Tulisan sebelumnya bercerita tentang “Cara Sony Mengoptimalkan Kehadirannya di CES 2012”. Kali ini kita akan mencoba memahami bagaimana Apple bisa merebut perhatian dalam gelaran sebesar CES tanpa kehadiran formal dalam acara tersebut. Salah satu di antara banyak cerita lain tentang kekuatan brand Apple.
Pameran elektronik konsumer ini diikuti oleh lebih dari 2.700 perusahaan dari industri yang beragam. Tidak heran penyelenggara mengklaimnya sebagai pameran teknologi elektronik konsumer terbesar di dunia. Walaupun banyak pameran lain yang menjadi pesaing dalam memberi pengaruhnya dalam industri terkait, antara lain Electronic Entertainment Expo di Los Angeles, Amerika Serikat, Mobile World Congress di Barcelona, Spanyol atau CeBIT di Hannover, Jerman. Tetapi ada 1 pemain besar dunia yang tidak hadir, yaitu Apple.
Tetapi kalau kita lihat hasil studi dari Webtrends pada gelaran CES tahun sebelumnya, Apple masuk menjadi 6 besar dalam brand yang paling banyak dibicarakan di media online – atau dikenal dengan istilah buzz – terkait gelaran CES. Padahal seperti tahun-tahun sebelumnya, Apple tidak hadir dalam acara tersebut. Berurutan, enam besar tersebut adalah Samsung, Google, Microsoft, Motorola, Sony dan Apple. Semuanya hadir secara resmi, kecuali Apple.
Hebatnya lagi, biasanya banyak partisipan yang berlomba-lomba mengumumkan produk baru unggulannya. Tetapi brand Apple tetap bisa merebut perhatian di tengah banjirnya informasi. Pada tahun 2011, CES dibanjiri oleh produk PC tablet dan ponsel pintar. Tetapi buzz tentang Apple tetap mampu mengimbangi sistem operasi Android. Webtrends menyebut angka Android : Apple = 51:49, walaupun masih untuk kemenangan Android yang hadir melalui berbagai macam pabrikan. Tetapi bisa kita lihat selisihnya tidaklah signifikan. Seperti kita tahu, Apple menjadi pionir dalam kategori PC tablet melalui iPad, dan masuk ke kategori ponsel pintar melalui iPhone. Seakan-akan apa pun jenis PC tablet yang diluncurkan atau dipresentasikan di CES akan langsung dibandingkan dengan Apple iPad. Demikian juga dengan ponsel pintar, akan banyak yang mencoba membandingkannya dengan Apple iPhone. Bahkan bila dibandingkan antara semua brand terkait (bukan berdasarkan sistem operasi), Apple berada di urutan pertama baik di kategori PC tablet maupun ponsel pintar. Di kategori PC tablet, Apple iPad merebut 18,1% buzz disusul Motorola dan Microsoft. Untuk ponsel pintar, Apple iPhone merebut 47,6% buzz disusul Sony Ericsson Xperia dan Windows Phone.
Semua itu tidak akan terjadi tanpa kekuatan sebuah brand. Menurut Interbrand, pada tahun 2011 brand value dari Apple menunjukkan pertumbuhan paling tinggi, mencapai 58%. Menurut WPP Plc dalam liputan bloomberg.com pada Mei 2011, disebutkan brand value Apple mencapai US$ 153 milyar, melampaui Google dan IBM.
Mungkin ini menjadi salah satu alasan bagi Apple untuk lebih memilih mengadakan sendiri acara peluncuran produknya daripada memilih menggunakan pameran. Pada CES 2012 ini, penyelenggara juga mendapatkan tantangan dari Microsoft. Microsoft mengumumkan bahwa tahun ini adalah tahun terakhir keikursertaannya di CES. Microsoft memutuskan untuk tidak hadir secara resmi dalam CES tahun 2013.
Tetapi bukan berarti Apple mengecilkan arti pameran besar tersebut. Seperti dilaporkan situs gizmodo.com, Apple dikabarkan menerjunkan sampai dengan 250 karyawannya untuk mengamati dinamika industri dan persaingan di CES 2012. Pameran seperti ini bukanlah hanya sebuah event untuk mempertemukan produsen dan calon pembeli. Pengunjungnya akan beragam dari calon pembeli, investor, pengamat teknologi atau industri terkait, pemerintah atau regulator, para jurnalis atau bahkan event organizer yang ingin melakukan studi banding. Interaksi berbagai pihak ini membuat manfaat sebuah pameran sangat beragam, mulai dari mencari pembeli, mencari mitra bisnis, mencari investor dan mencari informasi dalam proses memahami dinamika persaingan atau mencari ide inovasi. Dengan kekuatan brand sekuat sekarang Apple lebih memilih untuk fokus mencari informasi daripada hadir secara resmi dan memamerkan berbagai produk dan inovasinya.
Salah satu alasan mengapa saya senang mengikuti perkembangan Apple adalah strategi bisnis mereka yang luar biasa. Mulai dari brand architecture yang begitu lugas, kemampuan mereka untuk memprediksi kebutuhan konsumen sebelum konsumen sendiri menyadarinya, hingga supply chain management yang menjadi keahlian CEO baru Apple, Tim Cook.
Ini tidak berarti semua strategi Apple selalu berhasil. Banyak pemerhati bisnis mengkritisi bagaimana Apple menangani masalah Antennagate tahun 2010 silam. Hingga hari ini, Apple TV juga masih dinilai banyak kalangan sebagai salah satu produk Apple yang belum berhasil. Namun satu hal yang pasti, di balik blunder-blunder itu Apple tetap berhasil menjadi perusahaan teknologi dengan nilai kapitalisasi pasar paling tinggi di dunia. Banyak pengamat bahkan memprediksi bahwa Apple akan melampaui (lagi) nilai kapitalisasi pasar dari perusahaan paling berharga di dunia: ExxonMobil.
Seperti yang sudah Pak Arif kemukakan, brand value Apple mengalami peningkatan yang luar biasa tahun lalu. Walhasil, Apple sekarang bertengger di posisi 8 di Best Global Brand 2011 dari Interbrand dengan brand value $33.492M . Kenyataan inilah yang membuat mereka mampu untuk tidak mencantumkan stiker “Intel Inside” di lini produk komputer mereka (padahal Intel sendiri bertengger di posisi 7 BGB 2011 dengan brand value $35.217M). Alasan yang sama juga membuat mereka mampu untuk (sekali lagi sejalan dengan pendapat Pak Arif) tidak ikut berpartisipasi di pagelaran pameran elektronik akbar yang dihadiri hampir semua pemain teknologi penting di dunia.
Jika kita telaah lebih jauh, ada beberapa hal yang mendorong produsen elektronik untuk terlibat di dalam CES. Yang pertama adalah liputan dari media internasional. Yang kedua adalah kesempatan untuk memberikan impresi lebih dalam kepada konsumen dan industri. Yang ketiga dan yang lebih bersifat emosional adalah masalah gengsi.
Sayangnya, seiring dengan semakin banyaknya peserta CES, tantangan dari para pemilik merek untuk mendiferensiasikan penawaran mereka di ajang tersebut semakin sulit. Perhatian konsumen, media, dan dunia consumer electronic diperebutkan dalam waktu beberapa hari saja. Alih-alih menjadi channel komunikasi yang efektif, trade show yang terlampau besar beralih fungsi menjadi ajang pembuktian kehebatan suatu merek atau lebih parah lagi: being there for the sake of being there. Sama seperti perusahaan yang masuk Facebook / Twitter hanya karena kompetitor mereka juga hadir di sana atau karena trend pasar sedang demikian.
Berkaitan dengan hal sebelumnya, untuk mendiferensiasikan penawaran mereka, perusahaan-perusahaan yang terlibat di CES sering kali berlomba-lomba untuk memperlihatkan semua kemampuan / keunikan produk mereka. Hal ini lumrah namun ada resiko yang melekat: kompetitor bisa dengan mudahnya melakukan “studi banding”.
CES juga sering kali menjadi ajang demonstrasi suatu produk / teknologi baru. Namun ini agak kontra produktif jika kita lihat dari sisi bisnis. CES selalu diadakan pada bulan Januari; tepat pada saat siklus retail konsumen dunia mengalami penurunan (puncak pembelian biasanya terjadi di bulan Desember karena Natal dan akhir tahun). Alasan yang sama juga menyebabkan Apple memutuskan untuk tidak berpartisipasi lagi di Macworld (trade show khusus untuk produk-produk Macintosh dan Apple) sejak tahun 2009. Padahal dalam satu dekade terakhir, banyak sekali produk Apple yang diperkenalkan di MacWorld (termasuk iPhone di tahun 2007; Btw, jika belum sempat, teman-teman marketer harus menonton video keynote Steve Jobs pada saat dia memperkenalkan iPhone untuk pertama kalinya di sini. World. Class. Product Launch.).
Jadi menurut saya ada tiga hal yang menyebabkan Apple enggan untuk berpartisipasi baik di CES maupun di Macworld:
1. Kedua tradeshow tersebut tidak lagi bisa memberikan kontribusi yang cukup untuk menjustifikasi investasi budget untuk mengkomunikasikan produk-produk mereka. Channel komunikasi mereka yang lain (seperti Apple retail store) bisa dengan jauh lebih jelas menyampaikan apa saja yang menjadi brand promise maupun value proposition setiap produk yang mereka keluarkan.
2. Dengan tidak berpartisipasi di CES / Macworld, Apple tidak perlu menyesuaikan jadwal peluncuran produk baru mereka dengan jadwal trade show tersebut. Hal ini menjadi semakin penting dengan semakin banyaknya lini produk yang Apple miliki dengan refresh cycle yang sangat beragam. Lebih dari itu, tanpa harus ikut tradeshow apapun, perkenalan produk baru Apple sudah selalu dinanti-nantikan oleh berbagai kalangan.
3. Seperti di alinea terakhir blog post Pak Arif, tanpa harus berpartisipasi langsung di CES, Apple tetap bisa melakukan “studi banding” mengenai dinamika industri dan penawaran kompetitor.
Ngomong2, sepertinya studi kasus co-branding di industri teknologi bisa menjadi ide yang baik untuk artikel Pak Arif yang selanjutnya. Kapan perusahaan menilai co-branding berguna untuk kedua belah pihak (mis: sebagian besar produsen smartphone ber-OS Android yang mencantumkan logo Google atau si robot hijau di produk mereka) dan kapan perusahaan menilai strategi co-branding tidak begitu menarik (mis: Apple dan “Intel Inside” tadi).
Betul Pak Pandu, CES semakin crowded, katanya tahun ini ada 3.000 lebih partisipan. Sehihngga di 1 sisi memperkuat klaim sebagai yang terbesar di dunia, tetapi di sisi yang lain, justru akan menjadi tantangan bagi penyelenggara untuk mempertahankan value bagi partisipan. Microsoft sudah mengumumkan mengikuti jejak Apple untuk tidak hadir di CES 2013, dengan latar belakang seperti alasan Apple no. 2 versi P Pandu pd komen di atas.