Pernah mencoba berolah raga, jogging atau bersepeda, di jalanan tengah kota? Tantangannya mungkin akan mirip, khususnya akan dihadapkan pada lalu lintas kendaraan bermotor dan polusi asapnya. Itulah yang menyebabkan kawasan Car Free Day menjadi “surga” bagi orang yang mencoba meluangkan waktunya untuk berolah raga, khususnya di akhir pekan. Maraknya pembentukan kawasan Car Free Day pada akhir pekan di beberapa kota akhir-akhir ini membawa kabar gembira bagi mereka. Tetapi tentu saja pengelola kawasan Car Free Day tidak akan melewatkan peluang bisnis yang tercipta dari tumbuhnya keramaian di kawasan tersebut. Nah, di sinilah kita akan coba belajar studi kasus pemasaran tentang bagaimana memanfaatkan peluang bisnis yang tumbuh.
Mari coba kita cermati apa yang terjadi di kawasan Car Free Day (CFD) Dago, Bandung di mana saya termasuk salah satu pengunjung setianya…. dahulu…. sekarang sudah mencoba menghindari kawasan tersebut. Kenapa? Kawasan CFD Dago dibuka pada 9 Mei 2010. Pada awalnya saya termasuk salah satu penikmat kawasan tersebut, untuk melakukan aktivitas olah raga pada akhir pekan. Menikmati suasana yang langka didapatkan di daerah perkotaan. Berolah raga dengan nyaman, polusi yang minim, fasilitas yang memadai dan beberapa hiburan kecil di beberapa tempat. Semakin lama, kawasan tersebut semakin ramai, tetapi keramaian yang masih nyaman, aktivitas olah raga ringan, seperti jalan santai, jogging, bersepeda dan senam aerobik masih bisa berlangsung dengan damai. Sehingga orang yang ingin melakukan aktivitas olah raga masih tersu berdatangan.
Keramaian yang tumbuh ini pun tidak disia-siakan oleh pengelola kawasan dan para pelaku bisnis. Maka, kemudian semakin menjamurlah berbagi aktivitas hiburan dengan skala yang terus meningkat. Berbagai panggung hiburan dengan kekuatan sound system yang semakin sangat terus tumbuh. Panjang jalan Ir. H. Juanda (Dago) yang hanya 2,5 kilometer mulai mirip dengan lomba panggung hiburan. Sound system mulai membahana (tanpa cetar) di banyak tempat, bahkan di sekitar Rumah Sakit Borromeus yang kebetulan berada di tengah kawasan tersebut. Secara komersial, pengelola kawasan CFD tampak sukses, dengan semakin banyak pengunjung yang datang. Berbagai brand tampak terus berlomba memanfaatkan ajang ini, mulai dari produk makanan, taman hiburan, berbagai macam pedagang kaki lima sampai kampanye pemilihan kepala daerah.
Efek sampingnya adalah, semakin susah untuk melakukan aktivitas olah raga. Jangankan untuk jogging atau bersepeda, untuk sekedar jalan santai pun mulai susah, karena akan dihadapkan pada tantangan berdesakan dengan para pengunjung panggung hiburan dan booth penjualan berbagai brand yang menyesaki jalan. Salah satu obyektif CFD untuk mengurangi polusi udara cukup berhasil, sesuai laporan dari Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung. Tetapi tingkat kebisingan yang menambah polusi suara dan sampah yang dihasilkan mengganggu performa CFD. Sehingga, CFD Dago bukan lagi “surga” bagi aktivitas olah raga. Segmen pasar yang merupakan pengunjung setia CFD Dago untuk berolah raga pun mulai menjauh.
Kalau kita bahas CFD Dago sebagai sebuah brand, maka ada pelajaran yang bisa kita coba telaah. Salah satu dari The 22 Immutable Laws of Branding menurut Al Ries dan Laura Ries adalah kekuatan dari fokus. Dikatakan dalam The Law of Contraction, sebuah brand akan semakin kuat bila brand semakin fokus dalam nilai yang ditawarkan. Sebaliknya dalam The Law of Expansion, semakin luas lingkup penawaran maka kekuatan brand semakin kehilangan kekuatannya. Apple adalah salah satu brand yang sangat berhasil mempertahankan dan meningkatkan kekuatan brand di tengah pilihan fokus dan ekspansi (baca: Cerita Kesaktian Brand Apple). Erosi terhadap kekuatan brand bisa menyebabkan larinya pelanggan, beberapa pelanggan atau sebuah atau lebih segmen pasar. Walaupun ekspansi juga berarti ada peluang untuk menarik beberapa pelanggan atau segmen baru. Tetapi yang pasti nilai dan kekuatan dari brand akan bergeser. Jadi mana yang Anda pilih?