“Strength is my weakness. Hey can I — quick question. How is strength my weakness?” Pernyataan dan pertanyaan tersebut adalah kutipan dari dialog dalam film Jumanji: Welcome To The Jungle”. Walaupun konteksnya tidak sama persis, tetapi bisakah kekuatan menjadi kelemahan?
Sebelum kita masuk dalam studi kasus marketing, coba kita lihat dalam konteks yang lain, agar lebih mudah memahami.
Pada turnamen bulu tangkis BWF World Tour Finals 2019, ada fenomena yang menarik. Pasangan ganda putera ranking pertama dunia, Marcus F. Gideon dan Kevin S. Sukamuljo bertemu pasangan Jepang, Hiroyuki Endo / Yuta Watanabe sebanyak dua kali. Pertandingan pertama di babak group dan kedua di semifinal. Dan, hasilnya membuat kita sedih, Marcus / Kevin dua kali kalah.
Marcus / Kevin sangat disegani. Kecepatan dan pertahanan yang solid menjadi kekuatan mereka. Kevin sangat kuat dalam serangan di depan, Marcus menjadi tumpuan serangan dari belakang dan penguasaan lapangan.
Tetapi bertemu Endo / Watanabe, kekuatan mereka seperti tidak relevan. Mereka kewalahan menghadapi pertahanan yang super ketat, mampu meredam smash dan pukulan drive mendatar yang cepat. Bahkan, pada lima pertemuan terakhir, Marcus / Kevin telah gagal mengalahkan pasangan Jepang tersebut. Kuncinya adalah pada dua kata pada kalimat pertama paragraf ini: tidak relevan.
Uniknya, relevansi kekuatan Endo / Watanabe juga berkurang saat bertemu pasangan kebanggan Indonesia lainnya, peringkat kedua dunia, Hendra Setiawan / Muhammad Ahsan. Hendra / Ahsan punya obat penawarnya, pukulan yang sangat variatif, kesabaran dan kemampuan mengatur tempo pertandingan sehingga pertahanan pasangan Jepang itu menjadi kocar-kacir. Pada set kedua di final turnamen tersebut, Hendra / Ahsan sempat ketinggalan 10-16 tapi kemudian terus menyerang bagian depan pasangan Jepang dan membalikkan keadaan jadi 21-19. Kekuatan pertahanan Endo/Watanabe dalam menghadapi serangan smash dan drive cepat mendatar menjadi tidak relevan. Akhirnya Hendra / Ahsan juara BWF World Tour Finals 2019!
Mental model memegang peranan penting dalam manajemen strategis dan pembelajaran organisasi. Mental model adalah asumsi yang menjadi dasar bagi individu atau organisasi yang berperan dalam proses suatu organisasi berpikir dan bertindak. Mental model biasanya dibentuk dalam proses lama, bisa bertahun-tahun.
Suatu kekuatan yang diyakini oleh suatu organisasi, yang dibentuk selama proses bertahun-tahun bisa menjadi asumsi kuat dalam merespon suatu perubahan lingkungan bisnis.
Misalnya terjadi penurunan penjualan, sebuah organisasi yang mempunyai asumsi dasar adanya kekuatan di sales force, bisa cenderung akan fokus memperkuat atau memperbanyak sales force. Bahkan, mulai tidak lagi mempertimbangkan adanya risiko konflik saluran distribusi bila jumlah sales force diperbanyak. Padahal, akar permasalahan penurunan penjualan bisa berasal dari performansi produk, brand, perubahan perilaku dan kebutuhan pelanggan, adanya disrupsi di industri atau kategori layanan atau hal lainnya. Sehingga kekuatan saluran distribusi menjadi kurang relevan lagi dalam penyelesaian masalah.
Kekuatan akan berpotensi menjadi tidak relevan bila konteksnya berubah.
Studi kasus marketing klasik yang sering dikisahkan adalah Kodak. Kekuatan Kodak di ekosistem produk kamera film menjadi tidak relevan saat kamera digital semakin populer dan mampu menjawab banyak permasalahan pelanggan. Masalahnya Kodak terlambat beradaptasi, dan mencoba mempertahankan kekuatannya di kamera film. Akhir cerita, kita semua tahu, Kodak tenggelam.
Contoh studi kasus berikutnya adalah maraknya startup digital, di mana valuasinya banyak dihitung berdasarkan jumlah pengguna dan jumlah transaksi. Sehingga muncullah istilah “bakar uang” di mana fokus strategi dan sumber daya diarahkan untuk menambah jumlah pelanggan dan meningkatkan transaksi. Cara paling umum adalah dengan sales promo dan iklan, sehingga customer acquisition cost menjadi tinggi.
Pendapatan dan profit belum menjadi fokus, sehingga kebanyakan startup mencatatkan kerugian. Kondisi ini dianggap masih relevan, khususnya untuk startup pada tahap awal. Asumsi ini membentuk fokus penguatan organisasi. Kucuran dana dari investor menjadi tumpuan.
Tetapi banyak investor adalah perusahaan konvensional besar yang kinerjanya dinilai dari pendapatan dan profit. Contohnya adalah Softbank. Perusahaan Jepang ini sangat agresif berinvestasi di perusahaan dan startup khususnya yang unggul dalam teknologi sejak tahun 2008. Beberapa di antaranya adalah WeWork, Nvidia, Slack, Uber, ARM, OneWeb, Paytm, Plenty dan masih banyak lagi.
Perubahan terjadi saat bulan September 2019, CEO Softbank Group, Masayoshi Son mengumpulkan para pimpinan perusahannya dan menegaskan pentingnya profit dan good corporate governance. Dia mengatakan, “Profit does matter”.
Beberapa hari sesudahnya, Softbank memimpin untuk memberhentikan co-founder WeWork, Adam Neumann. WeWork adalah startup penyedia layanan office-sharing atau co-working space terbesar di Amerika Serikat, bahkan di dunia. Sekitar dua bulan kemudian, WeWork memutuskan untuk memberhentikan 2.400 karyawannya. Kejaksaan Amerika Serikat juga mulai melakukan investigasi karena besarnya kerugian WeWork.
OVO adalah salah satu fintech penyedia layanan dompet digital yang semakin populer di Indonesia. OVO juga dikenal sangat agresif melakukan sales promo dan iklan serta kemitraan strategis. Pada bulan November 2019, Mochtar Riady, pendiri dan chairman Group Lippo melepas sebagian sahamnya di OVO. Pernyataannya senada dengan Masayoshi Son, “Terus bakar uang, bagaimana kita kuat?”.
Kekuatan digital startup dalam melakukan akuisisi pelanggan dan membangun customer base melalui sales promo dan iklan harus beradaptasi sejalan dengan perubahan lingkungan bisnis dan siklus perusahaan. Karena pada akhirnya profit dan good governance adalah sangat penting. Kalau tidak beradaptasi, maka kekuatan akan bisa menjadi kelemahan.
Matriks SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat) sering digunakan untuk melakukan analisa terhadap lingkungan eksternal dan internal dalam proses formulasi strategi. Tetapi jangan lupa Strength di sini jangan lagi mengandalkan asumsi, tetapi harus relevan dengan lingkungan bisnisnya. Oleh karena itu banyak yang menyebutnya TOWS. Analisa dimulai dengan lingkungan eksternal (Threat dan Opportunity) terlebih dahulu baru disusul analisa lingkungan internal (Weakness dan Strength). Sehingga saat analisa faktor kekuatan, harus dipastikan relevan dengan lingkungan eksternal.
Jadi bagaimana dengan organisasi Anda? Apakah kekuatan organisasi yang diyakini dan dibangun sudah relevan untuk menyelesaikan permasalahan dan memenuhi kebutuhan pelanggan?